Selasa, 07 April 2009

UU KDRT

UU Penghapusan KDRT; Sebuah Dilema Rumah Tangga

Membaca judul tulisan ini, mungkin banyak orang yang tidak setuju terlebih lagi para pendukung keberadan UU Penghapusan KDRT yang telah memakan banyak “korban” dalam penegakan hukumnya. Ya, UU Penghapusan KDRT yang dilahirkan pada tahun 2004 lalu memiliki tujuan untuk mencegah dan / atau meminimalkan terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga ternyata telah menjadi senjata “ampuh” bagi “pelaku yang menjadi korban” untuk memidanakan “korban yang jadi pelaku”. Dari dua susunan kata disini, “pelaku yang menjadi korban” dan “korban yang menjadi pelaku” menjadi sebuah kenyataan di lapangan seiring proses penegakan dan penanganan UU Penghapusan KDRT dalam lingkup pemidanaannya. Hanya sedikit sekali penegakan hukum UU Penghapusan KDRT menyentuh esensi awal tujuan dilahirkan undang-undang tersebut seperti termaktub dalam penjelasannya dengan menyebutkan untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan melakukan pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
Pada pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT sendiri disebutkan pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Benarkah keberadaan undang-undang lain sebelum lahirnya UU Penghapusan KDRT belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum? Apakah ini merupakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kondisi dalam kehidupan masyarakat ataukah hanya sebuah pernyataan untuk menjustifikasi lahirnya UU Penghapusan KDRT demi memenuhi keinginan kelompok-kelompok kepentingan tertentu belaka?
Pertanyaan ini perlu di jawab secara jujur oleh semua pihak karena tujuan awal dari keberadaan UU Penghapusan KDRT ternyata menimbulkan permasalahan baru dalam penegakan dan pengananan hukumnya. Terlihat jelas, dalam setiap penanganan perkara KDRT (- yang biasanya ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak pada Kepolisian-) sama sekali tidak menyentuh esensi keadilan, baik itu bagi korban maupun pelaku KDRT. Banyak kenyataan di lapangan, pelaku yang kemudian dilaporkan atau diadukan melakukan tindak pidana KDRT ternyata pada awalnya merupakan korban dari jenis tindak pidana KDRT lainnya yang dilakukan oleh korban yang sebenarnya adalah pelaku awal dari sebuah proses kelahiran serangkaian KDRT dalam lingkup rumah tangganya.
Hal ini terlihat dari beberapa contoh kasus yang pernah ditangani penulis, dimana seorang pelaku KDRT yang dilaporkan kepada aparat kepolisian ataupun LSM Pendamping ternyata adalah seorang korban dari tindak pidana KDRT jenis lainnya. Tapi, karena kondisi terlapor/teradu adalah seorang suami (-yang notabenenye menyandang prediket sebagai seorang laki-laki yang katanya tidak boleh mengeluh dan menangis-), maka ketika terjadi KDRT terhadap dirinya yang dilakukan seorang isteri, sang terlapor/teradu sering mendiamkannya dan mencoba untuk berdiri tegar dengan tekad bahwa inilah rumah tanggaku dan inilah wanita pilihanku yang memang kujadikan seorang isteri.
Namun demikian, karena makin memuncaknya tekanan psikis akibat kehidupan rumah tangga sang terlapor/teradu yang tidak menentu, kemudian pada suatu saat sang terlapor/teradu melakukan tindakan pemukulan sebagai upaya melakukan pengajaran terhadap isterinya untuk tidak berbuat atau bertindak yang tidak patut dalam lingkup rumah tangga dan masyarakat. Tapi apa lacur, tujuan awal memukul isteri untuk memberikan pengajaran berujung petaka bagi sang suami karena sang isteri kemudian melaporkan / mengadukan sang suami ke aparat kepolisian dengan sangkaan melakukan tindak pidana sebagaimana diatur oleh UU Penghapusan KDRT.
Sesaat setelah laporan / pengaduan sang isteri diterima aparat kepolisian, kemudian sang suami dipanggil untuk memberikan keterangan tentang tindak pidana yang dilaporkan/diadukan tersebut. Namun demikian, pada saat memberikan keterangan dihadapan penyidik, sang suami berada dalam posisi “yang bersalah” karena ungkapan dan kata-kata yang diungkapkan oleh penyidik lebih sering menyudutkan posisi terlapor/teradu dan bukan untuk menemukan tindak pidana yang sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan tekanan yang cukup berat bagi terlapor/teradu karena sebagai seorang suami yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan isteri ke arah yang lebih baik ternyata telah “dihambat” oleh undang-undang yang seharusnya memberikan keadilan bagi semua pihak.
Ya, inilah dilema dalam penegakan UU Penghapusan KDRT. Banyak peristiwa dalam lingkup KDRT terjadi pada posisi “terlapor / teradu” sebenarnya adalah “korban” dari suatu rangkaian kekerasan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini tentunya harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh semua pihak, terutama sekali pihak yang berhubungan langsung dengan penanganan kasus-kasus KDRT, terutama sekali aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan juga para praktisi hukum lainnya untuk melihat secara jernih setiap permasalahan KDRT yang ditanganinya.
Untuk itu, dalam penanganan kasus-kasus KDRT (baik itu aparat kepolisian maupun LSM pendamping) harus mencoba untuk menelisik kasus-kasus KDRT yang ditangani dengan jalan melihat proses sebab - musabab – dan akibat dari suatu tindak pidana KDRT. Suatu tindak pidana – dalam bentuk apa pun- tidak akan pernah terlepas dari suatu proses sebab – musabab – dan akibat. Dalam hal ini, terjadinya suatu tindak pidana dimulai dari suatu sebab yang kemudian melahirkan musabab dan terakhir memunculkan akibat akhir sebagai suatu tindak pidana. Dengan proses penanganan perkara seperti ini, diharapkan sekali setiap penanganan kasus-kasus KDRT dapat menyentuh esensi keadilan bagi semua pihak, baik itu pelaku yang menjadi korban ataupun korban yang menjadi pelaku.
Diakui memang, tidak semua pelaku menjadi korban dalam suatu dugaan tindak pidana KDRT, tetapi hal ini sangat sering terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan kepada aparat kepolisian karena setiap kasus yang dilaporkan tersebut rata-rata dilaporkan oleh pihak yang mengerti akan undang-undang ini dengan baik dan menjadikan undang-undang sebagai tameng untuk memidanakan “pelaku yang menjadi korban”. Sementara itu, kasus-kasus KDRT yang memiliki dampak besar dalam lingkup kehancuran rumah tangga sering tidak terlaporkan karena adanya ketakutan dari korban yang benar-benar sebagai korban akibat ketakutan karena sikap pelaku yang memang sangat melebihi batas kewajaran dan kemanusiaan. Akhirnya, pihak yang memperoleh keuntungan dari proses penanganan yang tidak menyeluruh ini adalah pihak yang menggunakan kekuatan UU Penghapusan KDRT sebagai upaya mencari keuntungan sesaat, baik itu keuntungan materil maupun non materil.
Satu hal yang pasti, selama penanganan KDRT masih memihak pada “korban yang menjadi pelaku”, maka efektifitas keberadaan undang-undang tidak akan menyentuh esensi awal dari dilahirkannya undang-undang Penghapusan KDRT. Tindak kekerasan dalam rumah tangga memang suatu hal yang harus diminimalisir ataupun dihilangkan dalam lingkup rumah tangga di Indonesia guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua pihak. Tapi, jangan sampai dengan undang-undang yang punya tujuan mulia ini malah menjadi sebuah dilema baru dalam menjalankan kehidupan rumah tangga karena hilang atau hancurnya posisi sang suami sebagai pengayom, pendidik dan pelindung dalam rumah tangga

Sebuah Catatan

Hari ini aku memperoleh hasil yang sangat mengecewakan dalam menjalankan profesiku. Aku bertemu dengan ketua majelis hakim dan juga pengacara yang menurutku terlalu banyak bercerita dan tidak mencoba untuk menemukan keadilan yang sejatinya. Bahkan dalam perbincanganku tersebut, ujung dari cerita dan obrolan hanyalah bagaimana klienku bisa memberikan uang kepada majelis hakim dan jaksa tersebut agar klienku tidak lagi diperpanjang masalah.
Hal ini menimbulkan ketakutan sendiri dalam diri klienku yang kini sudah di tahan pada sebuah LAPAS karena tersangkut perkara psikotropika. Aku sendiri sudah berusaha untuk menyakinkan klien dan keluarganya agar tidak memberikan uang kepada majelis hakim dan jaksa tersebut, tapi karena terlalu takut akhirnya kesepakatan akhir tetap memberikan uang kepada majelis halim dan jaksa. Aku jadi puyeeeeeeeeng....
Kutempuh langkah yang sebenarnya tidak sesuai dengan nurani dan cita-cita awal aku menekuni profesi ku saat ini.
Ah, terlalu banyak godaan yang kuhadapi dalam menjalankan profesi ini.
Belum lagi sistem penegakan hukum yang sangat amburadul dan tidak pernah berpihak pada keadilan sejati.
Inilah negeriku yang penuh dengan carut marut dan tindakan tanpa moral.
Oh ya, kini pun PEMILU 2009 menjelang sudah, tapi aku tidak akan pernah memilih para Caleg yang masuk dalam daftar karena aku berkeyakinan tidak akan pernah bisa mereka merubah bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat. Malahan, mereka nantinya tetap akan menjadi bunglon dan parasit bagi kemajuan bangsa.
Politik tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

Sabtu, 04 April 2009

MADANI

Menggapai Asa Pendidikan
Oleh : Noor Aufa,S.H*

Pendidikan sebagai proses pembelajaran generasi penerus bangsa memegang peran penting dalam antisipasi perubahan dan ancaman bangsa ke depan. Melalui pendidikan, diharapkan mampu melahirkan generasi dengan kemampuan analisa dan pola pikir terbaik dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Pendidikan merupakan kunci kesuksesan bangsa menghadapi tantangan kehidupan yang semakin lama semakin rumit. Karena pentingnya pendidikan, berbagai upaya dilakukan segenap lapisan untuk melahirkan pendidikan baik dan berkwalitas. Khusus untuk Indonesia, pola pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi telah beberapa kali mengalami perubahan guna menemukan format ideal sesuai dengan jiwa dan semangat masyarakatnya.
Namun demikian, meski beberapa kali mengalami perubahan, kecenderungan pendidikan Indonesia belum mampu menciptakan generasi penerus yang kuat dan tangguh menghadapi berbagai perubahan dan tantangan. Bahkan, kecenderungan yang terjadi saat ini gamangnya peserta didik menghadapi tantangan global. Banyak peserta didik merasa seperti boneka yang harus memenuhi kehendak guru tanpa mampu menuangkan ide dan pemikiran sendiri. Akibatnya, peserta didik menjadi “gerombolan manusia” yang hanya berusaha mencapai hasil maksimal dalam nilai mata pelajaran serta lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai pencapaian prestasi tanpa memperhatikan cara bagaimana memperoleh prestasi tersebut.
Proses pendidikan yang sekedar mengejar nilai formal, mengakibatkan peserta didik menjadi “robot” yang bekerja dan berjalan secara mekanikal dan kehilangan “jiwa” sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari seorang manusia. Lambat laun, peserta didik kehilangan semangat kebangsaan seperti sering kita lihat dalam perkembangan pelajar terkini. Apabila hal ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin keinginan segenap lapisan masyarakat untuk menatap kejayaan bangsa tinggal mimpi karena digerogoti sendiri oleh generasi penerusnya akibat rancunya system pendidikan nasional yang kita terapkan.
Apa dan bagaimana menyikapi perkembangan pendidikan Indonesia saat ini?
Melihat pola kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan nilai budaya local selain “budaya impor”, tentunya memerlukan pemikiran strategis dalam upaya menemukan system pendidikan bermutu yang berbasis budaya local. Proses pembelajaran – baik formal maupun informal- sudah seharusnya berusaha untuk mencapai nilai kemanusiaan yang menjadi inti pokok kehidupan. Pola pendidikan, selain mengambil alih pola pendidikan “impor” yang selama ini selalu diterapkan, semestinya dilebur dengan system pendidikan local yang sudah makin memudar dalam kehidupan masyarakat di negeri ini.
Alur dan proses dengan memadukan system “impor” dengan pola pendidikan local diharapkan dapat terlaksana dalam upaya menemukan jati diri sebaga inti kehidupan. Kecenderungan selama ini, pola pendidikan “impor” yang diterapkan tidak mampu menciptakan generasi penerus yang kuat dan mapan menatap masa depan. Generasi dari system pendidikan “impor” cenderung melahirkan generasi yang terkontaminasi pola konsumerisme dan materialism yang lambat laun menjadi generasi hedonis. Akhirnya, generasi yang menjadi tulang punggung bangsa tidak lebih dan tidak bukan adalah generasi yang diciptakan menjadi “robot” dan tidak mampu menyentuh esensi kemanusiaan.
Pola pendidikan dengan penyatuan system “impor” dengan pendidikan local diharapkan mampu melahirkan manusia yang kenal akan dirinya. Dengan munculnya generasi yang kenal akan dirinya, maka generasi tersebut akan mengenal Tuhannya dan ketika mengenal Tuhan, setiap manusia akan mengenal lingkungannya dengan baik dan bijak. Seorang manusia yang mengenal lingkungan dengan baik dan bijak akan berusaha melahirkan prestasi yang terbaik bagi alam dan lingkungannya. Melalui pola ini, diharapkan generasi yang terlahir bukan sekedar generasi “robot” yang mengejar keberhasilan dan kesuksesan semu dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan dalam menjaga kelangsungan lingkungan. Tapi, dengan pola ini akan terlahir generasi yang memiliki kemampuan untuk melihat kesuksesan sebagai sebuah pencapaian prestasi yang menyeluruh dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungannya.
Generasi yang telah memiliki kemapanan dalam menatap setiap persoalan dengan pendekatan “kejiwaan dan kemanusiaan”, tentu akan melahirkan pola dengan pendekatan moral dan humanity guna merancang pembangunan bangsa ke depan. Melaui generasi ini, diharapkan dongeng indah anak negeri tentang Civil Society yang saat ini terus diperdengarkan tentu akan terwujud sebagaimana mestinya. Generasi inilah yang kelak mampu mengembalikan kejayaan sebagaimana yang pernah kita rasakan beratus-ratus tahun lalu saat bangsa ini masih terbentuk dalam suatu system kerajaan baik itu di masa majapahit, sriwijaya, pasai atau pun kerajaan lainnya. Tanpa generasi yang mengenal diri dan lingkungan, mimpi besar untuk meraih kejayaan tinggal cerita pengantar tidur balita.

Indonesia 2045

Masih adakah Bangsa Indonesia di tahun 2045?
Pertanyaan diatas patut kembali direnungkan seiring makin hancur dan keroposnya kondisi kebangsaan. Bukan hal luar biasa apabila kita mendengar atau pun menyaksikan berbagai peristiwa runtuhnya moral dan adab yang pernah menjadi salah satu keagungan bangsa “tempo doeloe”. Mulai dari tingkah pejabat yang tidak segan menyengsarakan rakyat demi alasan keindahan dan ketertiban serta peningkatan devisa–padahal tidak lain dan tidak bukan demi kepentingan pundi-pundi uang pribadi dan kelompok- hingga pertikaian antar kelompok masyarakat dengan alasan yang tidak masuk akal. Inilah bangsa Indonesia terkini. Bangsa yang tidak lagi memiliki “Inti Jiwa” dan tidak lagi memaknai “Harga Diri”
Seiring perjalanan kebangsaan dengan berbagai aral melintang, kita pernah menjadi bangsa besar yang cukup terkenal di seantero bumi. Kita mempelajari dan mengetahui dari berbagai literature sejarah bagaimana bangsa ini menjadi salah satu tujuan utama para calon cendekia dunia untuk mengkaji ilmu. Mulai zaman Majapahit, Sriwijaya hingga kerajaan Islam yang cukup terpandang. Bahkan diawal abad ke-20 pun bangsa ini tetap menjadi bangsa yang disegani dengan melahirkan tokoh-tokoh cukup terkenal keilmuannya seperti Tan Malaka, Haji Misbach, Soekarno, Hatta, Syahrir dan berbagai tokoh lainya.
Tapi, seiring kemerdekaan pada tahun 1945 sebagai kelanjutan tekad kaum muda progresif tahun 1908 yang kemudian diiringi dengan Sumpah Pemuda 1928 kejayaan bangsa ini semakin lama malah makin memudar? Apa dan siapa yang bersalah dengan semua kondisi ini? Kaum muda yang kehilangan jati diri atau kaum tua yang sudah keblinger yang tidak lagi mau mendengar saran dan pendapat kaum muda?
Untuk menjawab semua ini, seharusnya kita kembali mengurai benang kusut sejarah yang sudah tidak menentu nilai kebenarannya akibat didominasi kepentingan politik dan kelompok. Ternyata, kita semua memang telah melupakan adagium “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya”. Inilah salah satu penyebab keroposnya bangsa hingga menjalar ke tiap “tulang-tulang” tubuh bangsa. “Tulang-tulang” yang menopang tegaknya bangsa sudah tidak kuat menahan beban tubuh yang berat akibat “dosa” yang terus dikumpulkan anak bangsa. Dosa yang terus menumpuk seiring dengan keropos “tulang” telah menjadi kenyataan pahit segenap anak bangsa masa kini.
Tanpa kita sadari – demi kepentingan pribadi dan kelompok- setiap anak bangsa melakukan pembunuhan karakter terhadap jiwa bangsanya sendiri. Kita tidak lagi pernah memikirkan bagaimana harus bersikap dan bertindak sebagai anak bangsa yang bisa berbangga diri dan menepuk dada sebagai “Putra Putri Ibu Pertiwi”. Kita malah sering berbangga diri apabila mampu dan sanggup untuk setiap saat memenuhi pundi-pundi uang pribadi dan kelompok meski dengan jalan membunuh jiwa bangsa serta menyengsarakan sebagian besar rakyat. Kita telah menjadi anak bangsa yang sanggup melakukan apa saja demi melumpuhkan gerak langkah bangsa untuk mencapai kembali kedigdayaan yang dulu pernah dimiliki bangsa.
Sadar atau tidak, bangsa ini merupakan bangsa yang terlahir dari sejarah panjang berbagai kelompok masyarakat. Dari berbagai kelompok masyarakat yang pernah hidup dan bertempat tinggal di nusantara, lahirlah beberapa suku yang hingga kini masih hidup (-meski tinggal hanya sebuah nama, baik itu suku jawa, melayu, minang, bugis dan lain sebagainya-). Suku yang dulunya terpecah belah, bisa menyatu dalam semangat nation karena adanya sebuah “pemersatu” yang dikenal sebagai musuh bersama. Ya, di tahun 1908 beberapa kelompok suku mencoba menyatukan semangat dalam menghadapi musuh bersama kolonialisme. Semangat tahun 1908, kemudian dituangkan kembali oleh kelompok pemuda progresif 1928 dengan mendeklarasikan SOEMPAH PEMOEDA. Tak ada yang bisa membantah, kemerdekaan 1945 merupakan bayi dari penyatuan “sperma dan ovum” berbagai kelompok dan suku akibat “persenggamaan” di tahun 1908 dan diperkuat pembenihan di tahun 1928 untuk melepaskan bangsa ini dari kolonialisme yang telah memberangus keseluruhan hidup bangsa sehingga rakyat tidak bisa merasakan kekayaan yang dimilikinya sendiri.
Setelah terlahir dengan nama “Republik Indonesia” di tahun 1945 –meski agak premature- tanpa kesiapan proses kelahiran yang pantas dan wajar, bangsa ini kemudian mulai berbenah diri untuk meletakkan diri kembali sejajar dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi. Awal kemerdekaan, pada tahun 1948 dan tahun 1966 kita menghadapi musuh bersama komunisme yang berusaha mengambil alih kekuasaan dengan menggerogoti nilai-nilai luhur kebangsaan. Berbagai hal telah coba dilakukan pemerintahan era Soekarno dan era Soeharto untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme ini dengan hasil yang cukup memuaskan.
Seiring runtuhnya komunisme di Indonesia, era pemerintahan di bawah kendali Soeharto ternyata memunculkan masalah baru dengan hilangnya keterbukaan dan partisipasi politik. Setiap kebijakan masa Orde Baru mengarah system pemerintahan terpusat pada satu tangan (-kalau tidak ingin dikatakan diktatorisme-) yang kemudian memunculkan “amarah” kaum muda. Era 90-an, lahir generasi muda yang mencoba meruntuhkan nilai keterpusatan kekuasaan. Keberhasilan kembali diraih dengan semangat kaum muda progresif tahun 1998 dengan runtuhnya Orde Baru melalui symbol utamanya Soeharto.
Namun, meski Orba runtuh dengan jatuhnya Soherato dari tampuk kekuasaan, beberapa pemerintahan era Reformasi dengan pergantian kabinet dan pemimpin tetap tidak mampu memberikan nilai tambah kemajuan rakyat. Hingga saat ini, Indonesia tetap menjadi bangsa yang gamang menatap ke arah mana seharusnya rakyat diarahkan. Akankah bangsa ini dibawa menuju ke persatuan yang semakin kuat ataukah dibawa ke arah perpecahan masing-masing suku?.
Jawabannya tergantung pada kita semua selaku anak bangsa yang memang memiliki tanggung jawab moral dalam mempertahankan keberadaan bangsa bernama INDONESIA. Tapi, untuk mempertahankan suatu prestasi bukanlah hal mudah sebagaimana meraih prestasi. Begitu banyak coba dan goda yang akan terus menghantui usaha mempertahankan bangsa. Kalau saja kita tidak mampu mengantisipasi setiap coba dan goda bukan tidak mungkin bangsa ini hanya akan menjadi catatan sejarah dunia sebagai bangsa yang pernah hadir sementara untuk kemudian kembali hancur karena ulah rakyatnya sendiri. Bukankah Soviet Union telah memberikan contoh “terbaik” sebagai bangsa besar yang harus hancur karena ketidaksiapan mengantisipasi segala coba dan goda dunia internasional?
Pola terbaik yang dapat kita lakukan agar kembali tegak kokoh menatap masa depan adalah dengan melakukan pembenahan diri masing-masing. Setiap individu yang mengaku diri sebagai anak bangsa harus kembali menata diri menemukan inti jiwa sejati sehingga tubuh tidak lagi sekedar organ mekanikal yang didukung struktur keorgananan fisik. Kita membutuhkan tubuh-tubuh anak bangsa yang berjalan dengan JIWA sehingga memiliki kekuatan lebih besar dari apapun juga. Dengan penyatuan tubuh dan jiwa, kita semua akan menjadi manusia yang memiliki jati diri dan bisa berkata yang benar serta tepat bukan hanya berkata sesuai kehendak mulut.
Kondisi kegagalan setiap perjuangan dalam upaya melakukan perubahan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, harus kembali kita kaji ulang secara bersama. Melihat kondisi yang telah berlangsung selama ini, gagalnya setiap perjuangan bersama seluruh rakyat lebih disebabkan karena setiap gerakan perjuangan rakyat tidak pernah tuntas dalam menyelesaikan tugasnya. Perjuangan bersama segenap unsur bangsa selalu terputus di tengah jalan dan tidak mampu untuk mencapai tujuan mulia yang diusung pada awal perjuangan.
Keterputusan perjuangan rakyat dapat dilihat dari beberapa factor penghambat perjuangan yang apabila dikerucutkan terdiri atas :
• Terjadinya “kudeta” kaum tua terhadap nilai-nilai dan semangat perjuangan kaum muda dalam upaya melakukan perbaikan terhadap kehidupan rakyat untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bersama. Posisi kaum tua setelah keberhasilan perjuangan kaum muda dalam upaya melakukan perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selalu berupaya mendominasi penyelesaian permasalahan dengan teori-teori dan pengalaman yang dimilikinya tanpa memperhatikan semangat dan jiwa kaum muda perjuangan.
• Disisi lain, kaum muda yang menjadi ujung tombak setiap perjuangan kerakyatan dalam upaya melakukan pembenahan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju pada peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat ternyata hanya bermodal tekad dan semangat membara tanpa diringi keilmuan yang berarti untuk menuntaskan perjuangannya.
Berangkat dari kondisi ini dan seiring Seabad Kebangkitan Nasional, satu hal yang dapat kita lakukan adalah dengan penggabungan terhadap kaum tua dengan kaum muda agar saling bahu membahu melihat setiap permasalahan kebangsaan. Jangan ada lagi dikotomi kaum muda dan kaum tua pada tubuh bangsa ini yang mengakibatkan pertikaian yang tidak pernah berujung. Mari kita duduk bersama dan mencari alternative solusi pemecahan terbaik. Bukan saatnya kita hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok, tapi saatnya kita untuk memikirkan keuntungan yang bisa diraih seluruh rakyat, tidak peduli apa pun suku maupun agamanya karena kita adalah satu, Bangsa Indonesia.